Mengapa Penggunaan Tangan Kanan Penting?
Oleh: Nurma Dewi
Pendahuluan
Topik ini membincangkan tentang menggunakan tangan kanan sebagai etika dalam kehidupan sehari-hari.
Topik ini berawal dari sikap salah seorang pramusaji warung kopi di Aceh, yang menggunakan tangan kiri tatkala melayani pelanggannya.
Yang pada saat itu saya dan beberapa teman merupakan pelanggan di warung kopi tempat pramusaji tersebut bekerja.
Topik ini tidak bermaksud untuk memojokkan pramusaji tersebut, bisa jadi dia menggunakan tidak sengaja atau kelupaan.
Bisa jadi juga, tangan kanannya sedang sakit, karena tuntutan kerja dia terpaksa melakukan. Mungkin juga, tidak ada pencerahan oleh owner baik ketika merekrut maupun pada saat-saat meeting kecil yang memperbincagkan usahanya.
Jadi, sekali lagi, topik ini bukan hendak ingin menyalahkan siapa-siapa.
Topik penggunaan tangan kanan ini, ingin dilihat dari sudut pandang pendidikan. Bahwa pendidikan memberi catatan tentang pengajaran nilai-nilai etika, yang hal tersebut dapat ditransformasikan oleh keluarga, lembaga, dan masyarakat.
Tentu, di beberapa tempat atau daerah, maupun di beberapa dunia, menggunakan tangan kiri suatu hal yang biasa, bisa jadi hal tersebut tidak menyalahi etika dan tidak masuk dalam wilayah kajian etika.
Misalnya, di negara Barat, seseorang terbiasa menyetop taksi menggunakan tangan kiri. Di Jakarta pun, pemandangan demikian juga terlihat. Di Aceh beberapa kali saya juga melihat fenomena sedemikan rupa. Karena saya sering pulang ke arah pantai Barat Selatan Aceh menggunakan transfortasi umum.
Pernah suatu ketika, seseorang menyetop angkutan umun yang saya tumpangi dengan kanan kiri. Mobil terus melaju, padahal penumpang tidak ramai. Saya yang kebetulan duduk di depan, memiliki kesempatan menanyakannya hal tersebut. "Dia menganggap kita seperti binatang", demikian jawaban singkat dari sang sopir.
Secara ekonomi, tentu sang sopir tadi rugi. Tapi, dia tidak memperdulikan ekonomi, lebih melihat konteks "marwah" sebagai seorang manusia, apa lagi yang hidup dalam tradisi ketimuran.
Ini adalah salah satu pengalaman saya, masyarakat "biasa" dengan latar belalang pendidikan yang tentunya tidak sampai mengenyam ketingkat tinggi, masih memperhatikan nilai-nilai etika tersebut.
Artinya, penggunaan tangan kanan memiliki nilai agama, moral, adat, dan nilai-nilai kemanusiaan (penghormatan), dalam level status sosial apa pun.
Jaroe Get sebagai Ajaran Adab
Jaroe get memiliki makna khusus dalam masyarakat Aceh. Beberapa tarian di Aceh diekspresikan melalui gerakan tangan.
Tidak hanya memperlihatkan keindahan dan kehalusan seni, tapi seni gerakan tangan juga menggambarkan cerita, nilai, serta memperlihatkan sebuah kekuatan.
Tentunya, untuk menggali secara mendalam makna jaroe dalam masyarakat Aceh, tidak dapat dijelaskan dalam artikel singkat ini.
Kajian makna ini dapat dipelajari dari kaca mata antropologi budaya.
Saya mencoba melihat jaroe get dari perspektif adab.
Adab, memberikan sebuah gambaran pendidikan yang konprehensif, tidak hanya dipahami sebatas praktik, tetapi di situ ada sumber, ilmu, metode, dan praktik.
Ulasan sederhana dari terma di atas, adalah, sumber yang dimaksud di sini adalah Alquran dan hadis, ilmu yaitu seseorang itu mengetahui, sedangkan metode yaitu cara yang digunakan, dan praktik yaitu melakukannya secara nyata. Komprehensif ini, yang kemudian mendorong suatu nilai diamalkan.
Sebagai orang Aceh dan tinggal di dalam masyarakat pedesaan, saya sering melihat praktik pengajaran tata krama yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya.
Terlihat, misalnya, ketika ada kerabat yang memberikan sesuatu kepada si anak, si ibu mengucapkan "jaroe get". Maksudnya, meminta si anak untuk mengambil pemberian tersebut dengan tangan yang bagus, yaitu mempergunakan tangan kanan.
Tidak hanya dengan mengucapkan kata-kata, ketika si anak belum begitu mengerti maksud sang ibu, lalu ibu memegang tangan kiri si anak. Secara naluri, si anak dapat mengerti maksud dari ibunya, untuk menggunakan tangan kanan. Dan memang, si anak langsung mengulurkan tangan kanannya.
Demikian pula ketika si anak sedang makan, orang tua meminta anaknya untuk menggunakan tangan kanan.
Kendatipun kadang ada anak yang sudah memperlihatkan dominan tangan kiri (yang disebut kidal), tetap saja si ibu mengajari anaknya untuk menggunakan tangan kanan dalam beraktivitas. Terlebih lagi ketika mengambil makanan maupun makan. Pun si anak berada dalam pengasuhan nenek, hal serupa juga dilakukan oleh sosok nenek.
Praktik lainnya, ketika memberi salam, ibu meminta anaknya untuk menggunakan tangan kanan. Demikian pula saat anak-anak diminta untuk berbagi dengan sesamanya, ibu meminta anaknya untuk memberi dengan tangan kanan.
Praktik-praktik demikian, barangkali dianggap sepele, tetapi, praktik tersebut memiliki pengajaran adab yang melekat dimemori sang anak. Bila memori-memori tersebut terus diperkuat dengan ajaran kebaikan dan kontinue, maka, memori tersebut akan terefleksi dalam sikap dan perilaku. Dengan kata lain, sikap dan perilakunya merupakan pantulan dari jiwa yang halus.
Membangun Kesopanan dan Adab Sejak Dini
Penggunaan tangan kanan merupakan tindakan kesopanan dan sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Tindakan kesopanan ini perlu diajarkan kepada anak-anak sejak dini.
Mengajarkan anak menggunakan "jaroe get" seperti memberi salam, menerima ataupun memberi sesuatu, mencerminkan nilai-nilai etika dalam budaya masayarakat Aceh.
Bukan tanpa alasan bahwa pengajaran "jaroe get" itu penting dilakukan kepada anak-anak. Sebab, pengajaran "jaroe get" melibatkan nilai-nilai agama, sosial, kebersihan, budaya, dan pembentukan karakter yang baik.
Dalam ajaran Islam, Alquran dan praktik kehidupan Nabi Muhammad saw memberikan gambaran tentang penggunaan tangan kanan.
Misal dalam surah Al-Baqarah ayat 267, Allah menyebutkan tentang pemberian sedekah dengan tangan kanan tanpa memberi tahu tangan kiri.
Demikian pula praktik kehidupan Nabi Muhammad, memberikan contoh dalam berbagai bentuk aktivitas yang dilakukannya cenderung menggunakan tangan kanan.
Demikian pula dalam interaksi sosial, mengajarkan anak-anak bahwa menggunakan tangan kanan lebih sopan dan dihormati. Misal, memberi salam, berjabat tangan, saat memberi dan menerima, dan dalam berbagai ativitas lainnya.
Dari sisi kebersihan dan kehiginisan, juga memberi nilai edukasi kepada anak, bahwa tangan kanan "bersih" terutama ketika makan dan juga saat menyentuh makanan orang lain. Kita dapat melihat, bagaimana reaksi orang lain ketika makanannya kita sentuh dengan tangan kiri.
Pengajaran lainnya berkaitan dengan norma budaya. Penggunaan tangan kanan, dianggap sebuah norma dan aturan adat. Apalagi dalam konteks ke Aceh an, dengan lakap hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut. Artinya, norma budaya memiliki hubungan dengan norma agama, di mana kadang kala keterhubungan ini sulit dipisahkan. Terpadu dan menyatu.
Pentingnya lagi dari pengajaran jaroe get sejak dini kepada anak-anak adalah, membentuk pembiasaan yang positif.
Di sinilah pengajaran karakter yang poin pentingnya adalah membantu anak-anak dapat berinteraksi dengan masyarakat luas secara efektif.
Demonstrasi jaroe get yang diberikan oleh orang tuanya, menjadi model dan modal bagi mereka dalam berinteraksi sehari-hari. Di sisi lain, demonstrasi jaroe get juga memberi sebuah keyakinan moral, bahwa jaroe get, merupakan ajaran nilai yang bagus dan baik.
Meneruskan Budaya yang Baik
Jaroe get, merupakan budaya yang baik, yang perlu diwarisi dan diedukasi kepada generasi.
Nilai-nilai jaroe get harus hidup dalam kehidupan masyarakatnya, karena itu, keterlibatan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, menjadi langkah penting dalam meneruskan budaya baik ini.
Meneruskan budaya jaroe get, melibatkan pengajaran dan praktik sehari-hari. Yang bisa jadi, hasil tidak langsung nampak dalam waktu dekat, bisa jadi dalam waktu yang lama.
Akan tetapi, keyakinan dari sebuah ajaran yang baik, memberikan hasil yang baik pula, dalam waktu dekat maupun lama. Seperti ungkapan yang menyebutkan, apa yang ditanam, itulah yang dituai. Nilai-nilai baik yang ditanam, maka nilai-nilai kebaikan ini pula yang dipetik.
Penutup
Jaroe get, merupakan pendidikan awal berkaitan dengan adab kepada anak-anak. Praktik tersebut memberikan pengalaman beharga bagi mereka, bahwa jaroe get memiliki nilai agama, moral, sosial, adat, dan kemanusiaan. Kelak dalam interaksi dengan masyarakat, mereka mampu mempraktikkan nilai-nilai jaroe get.
Kemudian, dengan budaya jaroe get membantu pembentukkan karakter pada anak-anak sejak dini. Dengan demikian, mereka dapat memperkuat pesan bagaimana menjaga etika, menjaga kebersihan, serta berbudaya. []