"Apa yang salah dengan hijab kami, Tuan?"


           gambar sebagai ilustrasi freepik.com




Oleh: Nurma Dewi

Tema "Apa yang salah dengan hijab kami, Tuan?" menggambarkan pertanyaan mendalam dihati saya mengenai tantangan yang dihadapi perempuan Muslim dalam mengekspresikan identitas agama mereka di ruang publik. 

Salah satu contoh terbaru dari isu ini adalah ketika Perancis memutuskan untuk melarang atlet tuan rumah mengenakan hijab (Muslim) pada Olimpiade Paris 2024. Keputusan ini menyoroti ketegangan antara kebebasan beragama dan norma sosial serta politik di berbagai negara. Larangan ini mencerminkan ketidakpastian dan kontroversi yang sering muncul seputar pengaturan simbol-simbol agama di ruang publik, terutama dalam acara internasional yang menarik perhatian dunia.

Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi perdebatan mengenai penggunaan hijab dalam konteks acara seremonial. Pada tanggal 17 Agustus 2014, terdapat larangan bagi peserta Paskibraka untuk mengenakan hijab saat peringatan Kemerdekaan Indonesia. Larangan ini memicu diskusi mengenai hak beragama dan ekspresi individu di ruang publik, terutama dalam acara yang memiliki makna nasional yang sangat penting.

Kedua situasi ini mencerminkan ketegangan global dalam mencari keseimbangan antara kebebasan beragama dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial yang ada. Keduanya juga menyoroti bagaimana simbol-simbol agama, seperti hijab, sering kali menjadi fokus perdebatan dalam konteks publik dan profesional.

Sementara beberapa negara dan acara mulai mengakui serta mengakomodasi keberagaman ini, tantangan dan kontroversi masih tetap ada, memerlukan dialog dan pemahaman yang lebih dalam untuk menemukan solusi yang adil dan inklusif.

Kembali kekonteks hijab di ruang publik di Indonesia. Apa yang salah dengan hijab kami? Saat Indonesia mengakui dan menghargai keragaman budaya serta agama, muncul pertanyaan mengenai kebijakan terbaru terkait penggunaan hijab dalam perayaan 17 Agustus. Di tahun-tahun sebelumnya, hijab tidak pernah menjadi masalah dalam acara seremonial tersebut. Namun, mengapa tahun ini BPIP mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan hijab? Apa yang ada di pikiran pihak berwenang? Apakah mereka mencari penghargaan, atau justru ingin mengganggu kedamaian dan keharmonisan yang telah terjalin?

Indonesia rasa Perancis

Larangan hijab oleh pemerintah Perancis dalam konteks Olimpiade Paris 2024 bisa dilihat dari berbagai perspektif. Dari sudut pandang teologis, hal ini mungkin bisa dimengerti karena mayoritas warga Perancis bukanlah Muslim, dan negara ini memiliki sejarah yang kuat dalam menerapkan prinsip sekularisme yang ketat.

Sekularisme di Perancis bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan negara dan publik, sehingga larangan terhadap simbol-simbol agama di ruang publik sering kali dianggap sebagai bagian dari prinsip tersebut.

Di sisi lain, pelarangan ini dapat dilihat sebagai masalah. Banyak orang berpendapat bahwa kebijakan tersebut mengabaikan hak individu untuk mengekspresikan identitas dan keyakinan mereka. Dalam konteks global yang semakin menghargai keberagaman dan inklusi, larangan ini bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan beragama.

Dalam konteks ini, meskipun Perancis menerapkan kebijakan yang mengatur penggunaan simbol-simbol agama, banyak orang berpendapat bahwa kebijakan tersebut kurang memperhatikan pentingnya menghormati dan mengakomodasi perbedaan agama di ruang publik. Ketegangan antara prinsip sekularisme dan hak individu menjadi fokus perdebatan, mencerminkan tantangan yang dihadapi negara-negara dalam menyeimbangkan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan masyarakat yang semakin beragam.

Indonesia, yang kaya akan keragaman masyarakat dan pengakuan terhadap berbagai agama, termasuk mayoritas penduduk yang beragama Islam, memiliki konteks yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan Perancis. Perbedaan ini dapat dilihat dengan jelas dalam norma-norma agama, adat istiadat, serta aspek sosial dan budaya yang ada di kedua negara.

Di Indonesia, hijab sering kali dilihat sebagai simbol identitas budaya dan agama yang kuat, terutama di kalangan umat Muslim. Hal ini lebih terasa di Aceh, di mana masyarakatnya memiliki legalitas untuk menerapkan syariat Islam. Namun, meskipun ada pengakuan terhadap keragaman agama, pelarangan hijab bagi anak-anak atau peserta dalam acara tertentu, seperti Paskibraka, mencerminkan adanya ketegangan antara menghormati kebebasan beragama dan menjaga norma-norma yang berlaku dalam acara atau institusi tertentu.

Larangan hijab di Indonesia mungkin terlihat seolah-olah hijab dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya atau merugikan. Namun, bagi banyak orang, hijab adalah cara untuk menjalankan ajaran agama dan mengekspresikan identitas mereka. Kebijakan seperti ini bisa memberikan kesan bahwa hijab adalah "ancaman" yang menakutkan, padahal hak untuk mengenakan hijab adalah bagian dari kebebasan individu dan hak asasi manusia.

Larangan seperti ini mungkin muncul dari usaha untuk mengatur norma-norma tertentu atau mencegah kemungkinan ketegangan di ruang publik. Namun, penting juga untuk memperhatikan dampak kebijakan tersebut terhadap hak individu dan nilai-nilai keberagaman.

Diperlukan dialog yang terbuka serta pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya kebebasan beragama dan identitas individu agar kita dapat mencapai keseimbangan yang adil dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia.


Ternyata tak Moderasi

Fenomena peserta Pakisbraka 17 Agustus 2024 yang tak  boleh mengenakan hijab, menggambarkan ketidaksesuaian antara konsep moderasi beragama yang diusung oleh pemerintah Indonesia dan realitas yang sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip moderasi itu sendiri.

Pemerintah Indonesia berusaha untuk mendorong moderasi beragama demi meningkatkan toleransi dan kerukunan di antara masyarakat yang beragam. Namun, dalam praktiknya, beberapa kebijakan dan tindakan mungkin menunjukkan sisi yang berbeda dari nilai-nilai moderasi tersebut. Misalnya, larangan penggunaan hijab dalam situasi tertentu, seperti pada acara Paskibraka atau kebijakan lainnya, bisa dianggap bertentangan dengan semangat moderasi yang seharusnya menghargai hak beragama dan ekspresi individu. Tindakan-tindakan ini dapat memberikan kesan bahwa moderasi lebih dipahami sebagai penekanan terhadap simbol-simbol agama, bukan sebagai penghargaan terhadap keragaman. 

Fenomena ini mengindikasikan bahwa penerapan moderasi dalam beragama sering kali mengalami kesulitan untuk mencapai keseimbangan yang benar-benar adil dan inklusif. Untuk mewujudkan moderasi yang sejati, sangat penting untuk menegakkan prinsip-prinsip yang sejalan dengan nilai-nilai kebebasan beragama (Pasal 22 UU HAM), toleransi, dan penghormatan terhadap keragaman.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url